top of page

Ide, Aksi, Artefak

 

Melihat realitas seni (dan kesenian) di hari-hari ini, mungkin kita akan kesulitan untuk melihat peran strategis seni dalam membangun dan menjamin kelangsungan sebuah kebudayaan.

 

Kebudayaan dalam hal ini, mengutip Prof. Koentjaraningrat (1923-1999), memiliki pengertian sebagai hasil sebuah proses cipta, rasa, dan karsa manusia. Atau dalam pengertian yang lebih lengkap, sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan yang dalam pengertian ini dapat dibaca dan memiliki makna sebagai sebuah peradaban.

 

Oleh Prof. Koentjaraningrat, kebudayaan dapat dikenali melalui 7 unsur utamanya, yakni : sistem kepercayaan, sistem sosial, ilmu pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian (ekonomi), serta teknologi. Dalam proses serta wujudnya, menurut J.J. Hoenigman, kebudayaan dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yakni ide (gagasan), tindakan (aksi), karya (artefak).

 

Seni dalam praktis keseharian hari ini, terlihat dan dilihat sebagai ‘sesuatu yang lain’, yang menempel di keseharian kita, sebuah tambahan, seni yang bukan keseharian.

 

Sebagai sebuah ide dan gagasan, seni sering tampil rumit seolah kerumitan teknis adalah tujuannya. Makin rumit makin estetik, makin rumit dan sulit dimengerti maka makin layak disebut karya seni. Seni yang ‘berjarak’ dengan masyarakatnya, “Art for art’s sake”, demikian Osacr Wilde, sastrawan Irlandia (1854-1900) mendeskripsikannya.

 

Tidak heran dalam praktek seni macam ini, masyarakat umum mendeskripsikan seniman sebagai pekerja dan pelaku seni sebagai orang-orang yang bukan hanya rumit tapi orang-orang yang ‘nyeleneh’, ‘nganeh-nganehi’. Gagasan yang harusnya memberikan kekayaan wacana dan pandangan, terjebak pada situasinya yang paling kritis, kehilangan masyarakat sebagai ground (tanah, bumi) berpijaknya. Seni seolah ada di nirwana, bahasanya tak dapat didengar apalagi dimengerti.

 

Seni hanya jadi ruang berekspresi senimannya, dalam kalimat yang lebih ekstrim, seni jadi wujud keangkuhan dan arogansi seniman pelakunya.

 

Ibarat bejana air, kulit tanah liatnya terlalu tebal dan solid dan tak bercelah. Sebagai sebuah karya, wujud bejana diciptakan dengan kerumitan teknis yang memukau. Hingga kemudian, bentuk melampaui isinya, membuat air tak dapat masuk ke dalamnya. Kenikmatan air yang harusnya adalah yang esensi, tak lagi dapat dinikmati.

 

Pada wujud aksi, hari ini seni sering tampil (hanya) sebagai tontonan atau pertunjukan. Dalam konteks masyarakat konsumsi hari ini, sebagai sebuah tontonan seni ‘hanya’ akan menarik bila ia memenuhi hasrat konsumsi pemirsanya : bagian dari tren gaya hidup, atau paling tidak menyediakan ruang hiburan yang cukup besar bagi masyarakatnya ‘yang haus hiburan’.

 

Seni dan karya turunannya menjadi sebuah komoditas, yang harus mampu penuhi hukum supply & demand.

 

Sebagai sebuah produk konsumsi, (karya) seni harus dapat dikonsumsi ‘semudah’ mungkin. Kalau bisa, langsung dan apa adanya, tak perlu (terlalu) kritis. Seperti makanan cepat saji, tidak perlu lama masaknya – tidak perlu juga terlalu ‘sehat’, yang penting mengenyangkan – cepat hilangkan rasa lapar.

 

Seni dituntut untuk memenuhi selera pemirsa, penikmatnya. Seniman kehilangan ruang berekspresi. Seni terjebak pada tuntutan untuk memenuhi pesanan pasarnya. Bila pasar sedang menyukai tontonan yang serba ‘korea’, seni pun dituntut untuk bisa atau terpaksa harus minggir bila tak mampu penuhi permintaan ini.

 

Bagaimana dalam wujud artefaknya ? Nah, seni dalam wujud ini betul-betul sempurna hadir sebagai artefak, artefak dalam artian ia berakhir sebagai benda mati, yang tak berkontribusi dalam kehidupan. Paling banter, ia bernilai karena memiliki ‘kualitas pajangan’. Karya seni diapresiasi dan dikoleksi dalam konteks ke-estetika-annya yang sempit. Sebab bila kajian estetika secara utuh dipakai untuk menilai kualitas sebuah karya seni, ia tak bisa lepas dari (kompleksitas) konteks karya itu diproduksi.

 

Kajian estetika yang dipakai kadang semata hanya karena apa yang dikatakan oleh kurator – hal ini yang sering jadi modus penipuan, dimana ‘kurator’ juga adalah bagian dari intrik kegiatan tipu-tipu ini.

 

Pada level ini, seni juga jadi eksklusif, seni jadi punya nilai ekonomi – sebuah koleksi atau pajangan yang akan mendefinisikan siapa kolektor atau yang memajangnya. Seni jadi barang mewah yang sulit dijangkau, milik segelintir. Penting dan bernilai jika hanya mampu meningkatkan gengsi.

 

Contoh paling kasat mata melihat seni yang berakhir menjadi artefak, mungkin bisa jelas dilihat pada apa yang terjadi pada seni tradisi. Seni tradisi hari ini sudah jauh dari keseharian, bukan lagi bagian dari peristiwa sosial. Tari-tarian tradisi awalnya adalah peristiwa sosial, ia terjadi atas dasar kebutuhan kebersamaan (perayaan syukur atas panen, ritual kematian, dan sebagainya). Di masa lalu, seni tradisi ini menjadi bagian dari dinamika kehidupan. Ia menjadi seni yang hidup.

 

Seni yang berakhir semata sebagai artefak tidak berelasi dengan konteks sosial, ia hanya memiliki makna bila ia sedang berada di ruang pamer atau museum semata.

 

Melihat begitu ‘asingnya’ seni dalam keseharian kita hari ini, lalu bagaimana peran sentralnya dalam sebuah kebudayaan , seperti yang disebutkan oleh Prof. Koentjaraningrat – seni sebagai salah satu unsur kebudayaan ?

 

Naluriah Seni

“Man was first a hunter, and an artist : his earliest vestiges tell us that alone. But he

must always have dreamed, and recognized and guessed and supposed, all skills of the

imagination.” – Guy Davenport, The Geography of the Imagination

 

Tak sulit untuk menemukan darimana datangnya darah kesenian kita. Sebelum menjadi sebuah pengetahuan yang formal, seni adalah bagian dari insting manusia. Ia setua insting kita untuk bertahan hidup, lewat upaya mencari makan dan juga menghadapi tantangan alam lewat naungan tempat berteduh dan pelapis kulit sebagai pelindung tubuh.

 

Manusia-manusia awal kehidupan, seolah menunjukkan bahwa unsur estetik bagian penting dari cara-cara mereka penuhi kebutuhan-kebutuhan utamanya. Makanan, naungan, dan pakaian adalah kebutuhan yang primer, dan seni adalah sebuah naluri dasar yang estetik yang menjadi bagian dari cara manusia penuhi kebutuhan fisiknya. Dan yang tak kalah penting, ia juga bukan melulu teknik, tapi juga sebuah ekspresi yang jadi bagian dari kebutuhan spiritualnya.

 

“Man needs spiritual expression and nourishing... even in the prehistoric era, people

would scrawl pictures of bison on the walls of caves”. - Fernando Botero

 

Di sini kita bisa mencatat bahwa, jauh sebelum menjadi ilmu formal, seni telah menjadi bagian dari kehidupan personal manusianya. Bila lapar dan haus adalah tanda-tanda sebuah kehidupan fisik, maka hasrat ekspresi (yang estetik) adalah tandatanda dari kehidupan spiritual. Kemampuan berkesenian ini didapat dari pengamatan mereka terhadap ‘cara kerja’ alam. ‘Rumah’ adalah hasil pengamatan dari macammacam sarang milik hewan. Proporsi dan bentuk tajam tombak bukan tak mungkin hasil pengamatan yang cukup intens tentang tanduk milik hewan-hewan buas yang

mereka temui.

 

Estetika sendiri oleh Alexander Baumgarten (1714-1762) disebutkan sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang keindahan yang dapat dijumpai dan dipelajari dari alam.

 

Bergerak lebih jauh melewati masa-masa awal peradaban ini, manusia kemudian mulai membentuk sebuah jaringan individu yang lebih kompleks, membentuk sebuah sistem kemasyarakatan, seni mulai bergerak dari wilayah ekspresi individu menjadi ekspresi kolektif masyarakatnya.

 

Di sini, kita bisa menengoknya lebih dalam melalui seni tradisi kita. Prinsip dasar dari semua seni tradisi, berbasis pada semangat kebersamaan, merayakan persaudaraan, mengedepankan solidaritas terhadap kepentingan bersama.

 

Upacara syukur atas panen atau perayaan kegembiraan atas pernikahan, merupakan peristiwa gembira yang dibagi dan dirasakan sama-sama. Sedangkan ritual atas peristiwa duka atau kematian, adalah refleksi ‘spontanitas’ masyarakat untuk menanggung beban duka (individu menjadi duka bersama).

 

Upacara dan ritual tersebut mewujud dalam rupa kesenian, seperti tari-tarian atau nyanyian, bahkan juga detil-detil craftsmanship pendukungnya. Keseharian dan ekspresi masyarakat sebagai sebuah respon atas peristiwa komunal inilah yang kemudian hari ini kita nikmati ke-artefak-annya sebagai seni tradisi.

 

Pada level ini, seni benar-benar menjadi produk kebudayaan. Sebagai sebuah respon manusia dalam/ atas ruang-waktu yang spesifik dan kompleks. Di dalamnya terkandung nilai-nilai kepercayaan (moralitas-spiritual), sistem ekonomi, hubungan sosial, serta teknik-teknik kerajinan atau ketrampilan pertukangan.

 

Sebagai respon yang spesifik, karenanya seni (tradisi ini), memiliki nilai dan makna estetik yang tidak universal, ia sangat terikat oleh konteks masyarakatnya.

 

Hal yang menarik yang menjadikan seni (tradisi) menjadi sebuah karya kebudayaan adalah karena kemampuannya dalam mentransformasi nilai-nilai serta gagasangagasan personal menjadi nilai-nilai dan gagasan milik bersama.

 

Seni pada proses kelahirannya selalu merupakan ekspresi (peristiwa) personal. Ia adalah keseluruhan kerja pikiran, emosional, spiritual/ jiwa yang berujung pada kerja tubuh seniman penciptanya. Pada peristiwa ini kita melihat bahwa seni bukan semata peristiwa rasional – kerja logos, pikiran. Tapi sebuah refleksi peristiwa perayaan kesadaran diri (being), sebuah totalitas kemanusiaan. Seniman –pencipta, saat melakukan proses kreasi kesenian benar-benar mampu hadir utuh dan ‘tuntas’ sebagai

manusia.

 

Namun seorang seniman sadar, bahwa ia tidaklah hidup sendiri. Ada orang-orang lain di sekelilingnya, orang-orang yang mungkin terlebih dulu ada dengan kompleksitas latar belakang dan keragaman tingkat kesadaran diri (yang berbeda-beda).

 

Dalam konteks keadaan seperti inilah, level kesenian dan kesenimanan dalam ukuran sebuah kebudayaan, diuji.

 

Nilai-nilai individu (seniman) yang terkandung dalam seni (ciptaannya) yang diterima dan kemudian diakui oleh lingkungan komunalnya -dan kemudian dijadikan bagian dari nilai serta sistem sosial, yang bertahan dalam kurun waktu yang panjangmemiliki makna kultural. Di proses inilah, seni lahir sebagai sebuah karya kebudayaan.

 

Karya individu mempengaruhi masyarakatnya, hingga kemudian mempengaruhi tiaptiap individunya. Individu-individu yang terpengaruh dan berubah ini, di sebuah waktu kemudian akan menghasilkan karya-karya kebudayaan baru berikutnya. Di sinilah siklus kebudayaan terjadi. Siklus yang bergerak, hal yang sangat alamiah, karena gerak adalah tanda vital sebuah kehidupan.

 

Titik kesadaran paling penting keberhasilan sebuah karya seni agar dapat menjadi karya kebudayaan adalah, kesadaran seniman –pencipta, sejak awal proses kreasinya untuk menghadirkan dirinya sebagai sebuah refleksi ‘total’ lingkungan sosialkomunalnya. Kesadaran bahwa dirinya adalah individu yang ‘terikat’, ‘tak tunggal’, tetapi pribadi yang sejak dalam kandungannya sudah membawa DNA lingkungan sosialnya. Bahwa dalam diri individu selalu terdapat realitas sosialnya.

 

Tantangan Seni, Tantangan Peradaban

 

Hari ini, seni yang lepas dari ruang sosialnya, adalah sebuah tantangan besar bukan hanya buat para pekerja seninya (yang akan kehilangan ruang-ruang apresiasi), tapi juga menjadi tantangan masyarakat, tantangan kebudayaan (baca : peradaban), karena berarti masyarakat kehilangan peluang untuk melihat refleksi totalitas kemanusiaannya, dan peradaban kehilangan momen kritisnya untuk terus bergerak.

 

“Dalam dunia penciptaan khususnya musik, saya upayakan agar nyambung dan

berkomunikasi dengan orang atau pendengar. Walaupun untuk mendengar perlu

intelegensi, didikan supaya orang mengerti bahasa yang kita sampaikan. Karena

mendengar itu perlu bahasa dan bakat. Bahkan untuk menikmati karya saya sendiri

juga harus memainkan beberapa kali.” – Trisutji Kamal

 

Seniman sebagai individu harus menjadi refleksi paling kritis dari kondisi sosialnya, melakukan respon paling tajam atas ruang-waktu yang melingkupinya hari ini. Dan di sisi lain, masyarakat juga harus mau dan mampu untuk menyediakan ruang terjadinya transformasi nilai. Berusaha untuk terlibat dalam siklus roda kebudayaan. Menolak untuk ‘berhenti’ dan cari gampangnya.

 

Hal dasar yang menjadi syarat, cikal bakal peristiwa kebudayaan, yang akan menjamin kelangsungan kehidupan peradaban di masa datang.

 

Seniman (individu) tak bisa angkuh diam di tempat, menganggap lalu dan ‘bodoh’ masyarakatnya. Sementara masyarakat juga harus mau mendekat, membuka diri bahwa ada ‘rasionalitas’ yang lain yang hadir dalam wujud seni dan kesenian. Sebuah rasionalitas yang kadang terasa abstrak, namun sebenarnya cukup fundamental dalam membangun laku keseharian.

 

Hingga pertemuan antara keduanya tidak hanya menjadi sebuah peristiwa sosial, tapi yang paling penting : peristiwa kebudayaan.

 

Seni (yang meng-)komunal, seni yang menggerakkan kebudayaan.

 

Adi Wibowo, 30 Mei 2014

Seni Komunal, Seni yang Menggerakkan Kebudayaan.

Sebuah Pemikiran Awal.

bottom of page